22 September 2025     Novel   

Aku yang Lain - Bab 3 (preview)


Aku yang Lain - Bab 3 (preview)

Bab 3 - Terlambat

Beberapa saat sebelumnya...

Sedan biru yang kubawa berhenti di depan rumah Amanda, pacarku. Makan malam romantis yang kami lalui tadi masih membekas hingga sekarang. Sebuah momen yang takkan dapat kulupakan. Malam ini merupakan malam terakhir kami menikmati waktu bersama-untuk sementara-karena besok aku harus berangkat ke Jakarta. Pasalnya, aku mendapat kesempatan untuk mengikuti pameran "The Jakarta's Toys and Comics Fair" yang akan diselenggarakan pada 24 Juli nanti.

Sebagai komikus muda, bisa mengikuti ajang tahunan itu merupakan kebanggaan tersendiri. Karena hanya komikus dan toymaker terpilih saja yang dapat berpartisipasi di acara tersebut.

"Besok kamu harus pergi, ya?" tanya Amanda pelan.

Dari ekspresinya, aku tahu kalau dia seperti enggan untuk berpisah. Entah kenapa, aku merasa kalau ada keganjalan dari perubahan sikap yang tiba-tiba itu.

Aku tersenyum padanya, "Kamu tenang ya, aku pasti baik-baik aja, kok." Tanganku dengan lembut mengelus rambutnya.

"Entah kenapa, rasanya aku takut kalau kamu pergi, Raka." Raut muka Amanda semakin murung. Ragu-ragu dia menundukkan wajah. "Firasatku enggak enak. Kayaknya bakal ada hal buruk yang terjadi."

Rasanya aku tak dapat menjawab perkataan itu. Meski aku tak berpikiran yang macam-macam, tapi dapat dikatakan-dari raut wajahnya-kalau Amanda memang tak sedang bercanda. Aku merangkul pundaknya hanya untuk membuatnya tenang. Dia menatap lekat mataku; kegelisahan dan kecemasan makin telihat jelas dari sana. Dan tak lama setelah itu, air matanya pun berlinang. Aku menyekanya, lalu tersenyum sambil menatap balik matanya yang sembab.

"Everything's gonna be okay, Amanda." Aku mencoba menenangkannya. "Kamu enggak perlu khawatir. Aku di sana juga enggak lama, kok."

Amanda hanya mengangguk pelan, kemudian membuka pintu mobil. Agak lama dia berdiri sambil menatapku dari luar, sebelum akhirnya sedikit tersenyum lalu berjalan memasuki rumahnya. Setelah melihatnya menghilang di balik pintu, kuputuskan untuk langsung beranjak pulang.

Rumahku dan Amanda kira-kira berjarak 30 menit, jika tidak macet. Di jam-jam kerja, biasanya membutuhkan sekitar 45 menit untukku menuju rumahnya. Baru saja aku tiba dan berhenti di jalan depan rumahku, ponselku berdering. Aku merogoh saku celana, panggilan masuk dari Amanda.

"Halo, Say-" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Amanda langsung memotongnya dengan suara yang seperti ketakutan.

"Raka, aku takut! Kayaknya ada seseorang di sini."

"Amanda, kamu jangan panik, ya! Aku segera ke sana." Tanpa pikir panjang, tangan kananku langsung memegang kemudi, sementara yang satunya masih memegang ponsel. Aku memutar balik mobilku lalu melesat dengan kecepatan penuh menuju rumahnya.

"Cepat, Raka! Dia kayaknya semakin dekat. Aku bisa dengar suara langkah kakinya!" Kalimat terakhirnya terdengar seperti dia menahan tangis.

"Lari dari situ sebisa dan sejauh mungkin! Jangan menoleh ke belakang!" seruku dengan panik. Aku tak mendengar jawabannya selama beberapa detik.

"Aku takut, Raka! Aku takut! Kamu cepatlah ke si-" Aku mendengar teriakan dari sana. Diikuti isak tangis yang terdengar agak jauh.

Mendengar teriakan dan tangisan itu membuatku semakin panik. Ponsel kami masih saling terhubung saat dengan refleks aku menjatuhkannya. Semoga enggak terjadi apa-apa dengan Amanda, batinku.

Sampailah aku di jalan depan rumah Amanda. Degup jantungku semakin kencang. Aku melompat keluar sesaat setelah sedan biruku berhenti. Kupercepat langkahku hingga berlari. Dengan kencang aku menggedor pintu rumah pacarku. Semoga belum terlambat!

"Amanda!" teriakku. Tidak ada jawaban. Aku menekan gagang pintu itu. Tentu saja terkunci. Amanda tak akan pernah lupa untuk mengunci pintunya. Kembali aku mengetuk pintu itu sambil berteriak makin kencang.

"Amanda... Manda!" Masih tak ada jawaban dari dalam.

Aku mundur tiga langkah, mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintunya. Percobaan pertama-aku rasa yang terakhir-pintu itu tidak berguncang sedikit pun. Aku mengernyit. Tubuhku rupanya tak cukup kuat untuk mendobrak pintu kayu jati yang kokoh itu. Kulihat sekeliling untuk mencari jalan masuk lain. Aku bergerak mundur, agak menjauh dari depan pintu supaya mendapatkan pandangan yang lebih luas. Bagian depan rumah Amanda hanya terdapat satu pintu dan tiga jendela yang berdempetan di sebelah kanan pintu. Jendela-jendela itu memanjang secara vertikal, dengan enam kaca kecil tersusun di tiap-tiap bingkainya. Dari salah satu jendela yang memantulkan refleksiku, sekilas terlihat lelaki 28 tahun berperawakan sedang, tinggi badan yang hampir mencapai 180 cm, dan berwajah lembut dengan rambut hitam yang disisir ke belakang. Saat mataku masih menerawang jendela, seketika kuingat kalau di samping kiri rumah ini terdapat halaman belakang yang dibatasi pagar kayu dengan tinggi sekitar dua meter lebih. Walau pintu pagarnya mungkin dikunci, kuyakin kalau aku masih sanggung memanjatnya.

Sengaja aku lebih menjauh hingga ke pinggir jalan untuk memastikan dugaanku tentang pagar itu. Setelah terbukti benar, aku pun bergegas ke sana. Namun baru saja beberapa langkah, sekitar sepuluh meter jauhnya terlihat seorang lelaki yang berjalan ke arahku. Dari pancaran cahaya lampu jalan, samar-samar kulihat wajahnya yang asing dan terkesan mencurigakan. Orang itu mengenakan jaket kulit hitam dan celana jin biru, bertubuh sedang dengan tinggi tak jauh berbeda dariku. Aku tak menghiraukannya karena ada hal penting yang harus kulakukan sekarang. Saat kami berpapasan, sekilas terlihat olehku sorot matanya yang tajam.

Pagar yang membatasi bagian depan dan belakang rumah Amanda terbuat dari kayu jati. Sesuai dugaanku, tingginya benar-benar mencapai dua meter lebih dan lebarnya mungkin sekitar tiga meter. Sebelum memanjat, aku melihat kalau gembok pengunci pintu pagarnya rusak. Setahuku, jalan ini jarang dilalui Amanda, sehingga pintunya mungkin tak pernah terbuka untuk waktu yang cukup lama. Tapi sekarang, secara mengejutkan, gemboknya malah rusak. Ini terlalu mencurigakan. Mengetahui kalau pasti ada orang yang membuka pintu pagar ini dengan paksa membuatku semakin was-was dan pikiranku semakin tak terkendali. Dengan langkah besar aku berlari mengitari taman belakang rumah ini untuk mengetahui kalau semuanya tampak baik-baik saja, kecuali satu; pintu belakang rumahnya terbuka! Aku berhenti sejenak tepat setelah melihat pintu yang terbuka itu. Semua ini benar-benar tidak beres. Kuharap aku belum terlambat.

"Amanda!" Baru satu langkah kakiku memasuki rumah dua lantai bertipe 36 ini, rasa pengap langsung menyambar tubuhku. Kutelusurilah semua ruangan di lantai satu. Biarpun aku tergesa-gesa, tapi dapat dipastikan kalau tak ada hal yang aneh di sini. Semua ruangan tampak sama seperti biasanya, layaknya tak tersentuh. Dapat dipastikan juga kalau Amanda tidaklah ada di sini. Dia pasti di lantai dua!

Hawa rumah ini terasa semakin panas saat aku menginjak anak tangga pertama. Aku menarik napas panjang, sebelum dengan ceroboh menaiki tangganya. Hampir saja aku tergelincir karena menginjak dua anak tangga sekaligus, tapi tetap saja kulakukan hal nekad yang berbahaya ini hingga menyentuh anak tangga paling ujung. Tepat di depan sana-kira-kira delapan langkah-kulihat pintu kamar Amanda sedikit terbuka. Pikiranku semakin kacau. Aku langsung berlari sambil berharap semua hal buruk yang kupikirkan tidak akan terjadi.

Namun, realita berkata lain.

Jantungku seakan remuk saat melihat perempuan yang kucintai kini tergeletak tak berdaya, dengan genangan darah menyelimutinya. Sepertinya Amanda, di saat-saat terakhirnya mencoba meraih ponsel yang terjatuh di depan pintu kamar. Perlahan aku mendekat. Badanku bergetar hebat, tak kuasa menahan air mata yang berontak keluar. Kujatuhkan lututku untuk kemudian mengangkat kepala Amanda, lalu memangkunya. Lama aku menatap wajah cantik yang kini telah kaku dan bersimbah darah itu. Tidak ada kata-kata yang dapat keluar dari mulutku saat ini. Hanya air mata yang menetes deras tepat di wajahnya. Sekilas aku menyadari ada ukiran angka di dahi Amanda; 181, tercoret garis. Siapa yang tega melakukan ini?! Aku masih menatap wajah kaku itu hingga hujan pun perlahan turun, seakan membawa kabar duka untuk diriku.

***

Di sebuah kamar yang berjarak dua blok dari situ, seorang lelaki sedang berbaring di atas ranjang. Masih dipakainya jaket kulit hitam dan jin birunya. Kedua matanya dengan tajam menatap langit-langit, sebelum terpejam setelah kilat menyambar.[]

 



  Adnan Fadhil     Dibaca 40 Kali

Kategori Blog